Buku Tamu

Kamis, 14 Februari 2008

KEKUATAN CINTA

Kereta waktu terus saja melaju. Tak kenal lelah. Tak pernah henti. Pun ketika bumi berhenti berevolusi nanati, ia justru akan melaju dalam perjalanan sejatinya. Dan kita manusia adalah penumpangnya. Lebih dari belasan tahun diatasnya, tak satupun dari kita yang tau kapan akan sampai. Namun satu hal yang pasti , yang kita harus yakini dengan keyakinan yang utuh, bahwa saat itu kan tiba meski entah dengan cara bagaimana masing-masing kita akan turun dari kereta ini, lalu naik ke kereta waktu berikutnya.

Lalu tanyakan pada diri, belasan atau bahkan puluhan tahun dalam perjalanan, apa saja yang telah kita lakukan selama itu?

Fase demi fase kehidupan beganti. Lembaran catatan zaman terpenuhi oleh banyak kata, warna dan rasa. Hingga bumi seperti sulit mencerna warna dan rasa yang beragam.
Setetes mani disusul pahit yang sangat , segores warna cerah diselimuti kepulan hitam yang kelam. Banyak peristiwa tak biasa seolah menjadi hal wajar di tengah kita. Bencana demi bencana pun terjadi bagai ombak yang saling susul.

Dan sekali tanyakan pada diri, sanggupkah kita menjadi penonton budiman pada episode keterpurukan zaman di hadapan kita? tidakkah kita lelah menyaksikan rentetan peluru kehancuran memporak-porandakan bangunan negeri ini? Tidak boleh ada jawab selain tidak. Karena pasti masih ada nurani dalam jiwa setiap kita. Kita harus bangkit, zaman membutuhkan kita yang tampil dengan kekuatan. Kekuatan yang mampu membendung peluru-peluru kehancuran. Mampu menyusun kembali peradaban-peradaban yang terberai.
Yakinlah bahwa kekuatan itu sesungguhnya ada pada setiap kita. Kita yang merasa ada di zaman ini, kita yang merasa bagian dari keterpurukan zaman yang terjadi.
Pada diri kita sesungguhnya ada kekuatan yang mampu memupus keangkuhan diri, mampu merobek keringkihan jiwa dan bisa membakar onggokan keserakahan pada dunia yang menyebabkan porak-porandanya peradaban.

Ialah kekuatan cinta. Kekuatan yang akan menorehkan warna cerah bagi dunia. Menumbuhkan rasa kepedulian pada sesama dan semangat perbaikan yang akan mengokohkan bangunan solidaritas kemanusiaan yang selama ini mulai lapuk, lalu berjama’ah membangun kembali peradaban dan menyusun puzzle-puzzle keindahan yang terberai.
Namun cinta disini adalah cinta hakiki. Cinta yang akan melahiran kebeningan pandangan, keindahan bahasa serta ketulusan laku. Cinta yang mampu menghidupkan bashiroh (pandangan hati) seorang insane. Ialah cinta dari sang maha pencinta. Rabb, penggenggam setiap jiwa. Namun cinta ini hanya akan tercurah bagi kita yang “mau” menjadikan Dia sebagai pelabuhan cinta. Kita yang “mau”, bukan yang mampu. Karena kita tak akan pernah mampu menggenggam hati kita untuk membawanya ke hadapan Allah. Kita hanyalah insan, makhluk ciptaan-Nya. Hanya Dia yang mampu membolak-balikkan hati ini untuk diarahkan kearah mana kita menuju. Apakah “mau” kita tertuju pada-Nya pemilik dunia dan akhirat, ataukah hanya pada sesuatu yang dimiliki-Nya, dunia?
Sedangkan “mau” disini bukan hanya keinginan sesaat. Tapi “mau” yang dimaksud adalah keinginan yang sungguh sehingga dengan segenap jiwa akan berusaha mewujudkan ingin itu, lalu melawan pesona duni bersama keserakahan dan kebengisan di dalamnya yang serta merta melahirkan kerusakan demi kerusakan di bumi ini.

Ini adalah sebuah pilihan. Pilihan yang menuntut ketegasan hati. Memaksa kita untuk menyngkirkan ranting-ranting keraguan lalu membunuh kemalasan serta kemnajaan diri dalam menyerap warna-warna kehidupan yang hadir di hadapan kita.
Bukalah lembaran sejarah para pendahulu kita dalam sepisode kisah cintanya.
Julius Caesar melabuhkan cintanya pada wanita semata. Qarun pada harta, dan Hitler pada kekuasaan. Namun kisah mereka berakhir kehancuran. Sebabny adalah karena mereka melabuhkan kisah cintanya hanya pada sesuatu yang dimiliki oleh sang pemilik cinta.
Padahal kekuatan cinta yang sesungguhnya hanya akan terpancar dikala cinta itu dilabuhkan pada sumber cinta yang Maha Tinggi. Allah ‘azza wa jalla. Karena dari-Nya akan tubuh benih-benih cinta yang lain, sehingga cinta itu akan terungkap dal sikap kesehariannya.
Rasulullah saw telah membuktikannya, dengan cinta yang ia labuhkan sepenuhnya pada sang Rabbi, mampu merubah kejahiliahan dan keterpurukan moral diseluruh Jazirah Arab yang saat itu sangat tak terkendai, menjadi ketentraman yang terstruktur dan terkendali. Itulah kekuatan cinta.

Dengan kekuatan itu juga hati seorang Umar bin Khattab, yang dikenal bingar dan temperamental bisa tersentuh lalu berubah menjadi pemimpin negara yang bijak dengan keadilan dan kasih sayang yang sangat terhadap rakyatnya.
Demikian pula Bilal bin rabbah, seorang budak yang selalu tertindas. Meskipun oleh orang kafir beliau dilentangkan ditengah padang pasir yang terik, lalu di himpit pula dengan batu besar demi untuk mengalihkan cintanya kepada berhala, ia tak gentar sedikitpun. Kekuatan cinta yang lahir dari jiwanya mengokohkan akar tauhid sekokoh gunung uhud.

Begitulah buah dari kekuatan cinta hakiki, tak terbendung. Ia mengalirkan kelembutan dalam jiwa yang kekar, memancarkan cahaya di hati yang bening, lalu melahirkan pribadi yang punya komitmen dan keberanian untuk melakukan perbaikan.
Inilah yang kita butuhkan hari ini. Kekutan yang mengaliri setiap diri. Lalu dengan itu kita akan mampu menghijrahkan diri dari seorang yang terbiasa manja dalam kemalasan, menuju diri yang mau berjuang. Mengukir karya kepahlawanan dalam bentuk sikap dan laku yang membawa manfaat bagi diri dan orang lain. Kekuatan ini pun mampu mengikis keserakahan dalam diri seorang koruptor, kebakhilan di hati seorang jutawan dan seluruh keringkihan yang bersarang dalam jiwa-jiwa yang kerdil.

Maka segeralah beranjak, raih kekuatan itu. Raih cinta dari Maha Pencinta. Rasakan keindahan berbicara dengan-Nya ketika sholat. Bangun harapan dengan doa-doa yang panjang. Telaahlah tipa perkataan-Nya yang telah dihimpun dalam Al-qur’an. Kita akan rasakan kekuatani tu. Kekuatan cinta dari Allah ‘azza wajalla.
Wallahu a’lam bishsshawab.

Tidak ada komentar: